Photo by Kris Atomic on Unsplash

Tebak-tebakan Lewat Mata

Kata orang, mata bisa menceritakan segalanya. Percaya, tidak?

Sabrina Zahra
4 min readOct 26, 2023

--

Di antara kami sudah tertumpuk dua piring bersih, air putih di gelas juga sudah dihabisi. Membiarkan tubuh jadi bingung ingin berdalih bagaimana lagi.

Beberapa orang tidak merasa nyaman akan suasana berbincang yang kaku — termasuk aku, misalnya seperti ini ketika harus berbicara hanya melalui dua pasang mata, sambil duduk berhadapan bak dikurung untuk sama-sama melerai benang.

Padahal suara sekeliling terbilang ramai. Restoran ini penuh, riuh rendah pengunjung dan ramahnya pelayan seharusnya cukup membuat tenang. Tetapi sepertinya ada yang lebih memihak untuk larut dalam sunyi.

Aku banyak diam sebab tatapannya … sangat dalam. Sudah sekian menit aku menunggu sepatah kata keluar dari bibirnya, tapi malah senyum kecil yang awet dia pamerkan.

Ide siapa sih, duduk berhadapan begini? Apa harus ada kontak mata yang intens seperti ini?

Anehnya, aku juga jadi gagu. Pupilnya sangat paten ke arahku sampai nyeri sedikit terasa dalam dada.

Aku sudah coba pecahkan suasana, tetap hasilnya nihil. Kalimatku beberapa kali dijawab geming, selebihnya dia masih bertahan pada senyum dan pandangannya yang bening.

Atmosfer seperti ini kian menekan kepalaku untuk jauh melambung berpikir kenapa-kenapa. Padahal entah maksud dia apa — pembahasannya akan ke mana, tapi aku yakin yang mencekat bicaranya bukanlah hal kecil. Lidahnya tidak mungkin tertahan begini kalau hanya soal cuma-cuma. Pasti ada yang salah, atau, ada yang hampir salah.

Maka aku coba tanam lapang baik-baik kalau-kalau ternyata harus mendengar yang pahit-pahit.

Assume the worst. Matanya seperti isyaratkan aku untuk berprasangka begitu.

Dengan sedikit berani aku coba balas pandangannya, tetapi malah ribut yang muncul berkecamuk di kepala.

“Aku takut … kamu pergi.”

Tebak, siapa yang bilang begitu?

Aku. Aku takut dia pergi walau matanya tak payah terkunci padaku. Aku takut aku yang membuat kecewa sampai-sampai tatapan hangatnya dia pindah alih, atau misal hilang kendali.

Jawabnya lagi hanya dengan senyuman. Tapi kali ini matanya ikut tersenyum lebar, dengan netra yang masih tajam terpaku padaku.

Entah, ada apa dari ucapanku sampai dia tersenyum lebar… sambil menghela nafas begitu?

Dia merasa lega? Atau justru kecewa karena kalimatku?

Sial, aku sama sekali tidak bisa membaca raut wajahnya! Aku jadi yakin pernyataan-semi-permintaanku tadi betul-betul sebuah ucapan bodoh. Atau, bisa jadi kalimat itu yang sebenarnya ingin dia patahkan dengan lidah kelunya malam ini. Bisa saja, kan?

Sampai akhirnya, yang ditunggu-tunggu, tanda tanya keluar dari bibirnya, “pernah kepikiran kayak terlalu cepet, gak?”

“Hm?” Kedua alisku menaik. Apanya yang cepat?

Waktunya? Iya. Kami baru saling kenal dua bulan lalu. Untuk sadar soal rasa pun, hanya butuh waktu sesingkat itu.

“Iya, cepet.”

“Aku banyak takutnya.” Nada gusar darinya terdengar jelas, kedua telapak tangannya dia usap pelan ke muka — sambil mengistirahatkan matanya yang sedari tadi lihai bergeming.

“Aku juga.”

Tangannya makin tidak bisa diam. Kini ujung jemarinya dia arahkan ke meja, mengetuk datarannya berulang kali sesuai intonasi.

“Gini, kamu masih muda. Masih banyak mau explore. Kamu pasti mau coba ini, mau coba itu. Jadi, enggak apa-apa kalau ternyata nanti kamu ketemu sama yang lebih-lebih dari aku. Mungkin sekarang kamu baru ketemunya aku,”

Tetapi saat bicara begitu, tatapannya menghilang dari aku.

“… kalau semisal nanti kamu ketemu sama yang… ya, lebih-lebih itu, gak apa-apa.”

Netranya makin mengedar ke sekeliling ruangan.

Tatapannya hilang, dan aku paling takut hal itu terjadi.

Tuhan, padahal aku takut dia yang pergi, kenapa dia malah pesimis begitu!

“Aku ngerti maksud kamu. Aku masih lebih muda dari kamu, iya. Masih butuh banyak pengalaman juga. Tapi aku tetep … gak mau nyia-nyiain kamu.”

Apa ini? Kok, restorannya sudah sepi? Apa diam kita memang selama itu sedari tadi?

Entah, setelah aku coba tatap balik matanya — yang sekarang enggan berserobok denganku, aku jadi tidak terlalu ingat rasa takut itu.

Lalu saat mata kita bertemu, seakan nyaman dan aman jadi lebih pandai bertamu.

Salah satu dari kami akhirnya mengaku, “kita terlalu takut.”

“Iya, ya?”

“Kamu yakin sama aku?”

“Kamu. Kamu yakin gak sama dirimu sendiri buat yakin sama aku?”

Diam hadir lagi. Udara dingin makin menerpa, selaras dengan lamunanku yang terpaku pada matanya yang masih sesekali kabur, sambil menunggu kalimat apa yang akan keluar untuk menanggapi pertanyaan — lagi-lagi — semi-permintaan itu.

“Aku yakin. Aku mau berusaha.”

Dan dia bisa jawab itu setelah netra kita bertemu.

Aku jadi benar-benar yakin kalau mata memang mampu untuk menceritakan segalanya. Apalagi bagi orang-orang seperti kami, yang acap bimbang memikirkan kata padahal ribuan gemercik selalu dirasa.

Mereka tidak pernah bohong walau di suasana yang kian mendera, seakan bisa tangkap alasan di balik diam walau belum terucap kata kenapa.

Kalau aku minta pada semesta untuk bisa sering berhadapan begini dengannya, dengan frekuensi indah yang Dia ciptakan melalui bertatapan mata … boleh saja, kan?

—150723

--

--