Rubah Tidak Dikenal

Sabrina Zahra
4 min readMay 5, 2024

--

“Ibu! Bu! Ibu!”

Bukan yang dipanggil, melainkan seorang pria berpakaian kasual dengan topi fedoranya yang menoleh cepat.

“Pak, tolong panggil Ibu baju kuning tadi! Uang kembaliannya tertinggal!”

Oh, sebuah misi yang amat ringan baginya.

“Sini. Biar aku antarkan.” suaranya terdengar pelan namun tegas, cukup meyakinkan si penjaga toko bahwa orang yang baru saja menawarkan pertolongan lebih padanya adalah orang baik.

Dia angkat tubuhnya dari kursi, lalu bak dikejar anjing dia berlari sampai ke gang sebelah. Belum begitu jauh, ditemukannya wanita bergaun midi berwarna kuning, dengan gelombang rambut ikalnya yang terikat indah. Dia menjinjing beberapa buah kantong plastik transparan.

“Permisi. Dari kedai yang tadi,” tegurnya dari belakang sambil mengeluarkan gulungan kertas yang lumayan tebal. “Uang kembalianmu sebanyak ini. Kamu beruntung dia penjual yang baik.”

Wanita itu cekatan menoleh, memperlihatkan mata cokelatnya yang berbinar. Wajahnya tidak cemas, tampaknya dia benar-benar lupa kalau ternyata dia meninggalkan uang sebanyak itu. Belum berterima kasih, wanita itu malah jawab dengan tatapannya yang cukup intens, sambil membuat-buat raut wajah seolah curiga.

“Kau juga orang baik. Padahal bisa saja kau ambil dan bawa pergi.”

Dengan cergas dia ambil uangnya yang sedari tadi mengambang di ujung jemari pria yang menolongnya.

“Terima kasih, orang baik.” wanita itu berbalik pergi sambil meninggalkan senyuman dan sebuah kedipan ayu.

“Dasar perempuan.” ujarnya setelah mengecek kantong kanannya — yang sekarang kain dalamnya teruntai ke luar.

“Bagaimana? Dapat?”

Fedora dongker andalannya dia lepas, lalu diletakkan di atas meja berdampingan dengan kopi hitam pesanannya. Dia menghela napas lumayan panjang, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali.

“Loh? Bukannya pekerjaan mudah?”

“Lebih mudah menghabisi pembunuh bayaran.”

Pria yang terlihat jauh lebih tua di hadapannya terlonjak kaget. “Hey, setelah ini kita makan nasi goreng lagi.” kekehan si Pak Tua menyumbang keramaian dari kedai kopi.

Dia ikut tertawa miris, lalu menjulurkan tangannya mengambil satu keping catur yang menganggur semenjak dia beranjak, “Sekakmat. Kau yang bayar nasi gorengnya.”

Seketika raut wajah Pak Tua berubah karena tawanya seperti dipaksa berhenti. “Cih. Lebih asyik bermain catur dengan wanita tadi.”

Seketika juga si pemilik kopi hitam yang sudah dingin itu terduduk tegap.

“Hah? Kau main dengannya?”

“Iya. Aku bisa tebak dia bukan perempuan biasa. Kau tahu,”

Pak Tua mendekatkan wajahnya, mengambil kacamata hitam dari saku lalu memakainya, “Dia bernilai ratusan juta. Aku pernah lihat di berita. Makanya, aku pikir kita akan makan enak karena kau mengejarnya.” bisik Pak Tua, khawatir terdengar oleh manusia lain.

“Gea Maharani?”

“Bukan. Wanita yang satu lagi.”

Matanya makin membulat, bunyi O keluar dari mulutnya.

“Jangan kau bilang itu si Bawita?”

“Sayangnya iya. Bawita. Sesuai namanya, dia berambisi tinggi bahkan hanya untuk mengalahkanku bermain catur tadi.”

Hening tercipta beberapa saat. Pak Tua melirik ke arah pria — tidak tua dan tidak muda — di hadapannya yang mendongakkan lehernya lesu.

“Kau terlihat kecewa, Elang.”

“Aku masih tidak percaya berinteraksi dengan Bawita. Hanya namanya saja yang terdengar di mana-mana. Bagaimana kau tahu kalau itu dia?”

“Dia menanyakanmu.” dengan santai Pak Tua meminum teh daun mint pesanannya.

Bangunlah dia dari sandarannya. Pria berusia matang tersebut menahan mulutnya yang hampir berteriak, “Apa kau bilang?!”

“Kau. Elangga. Lebih tepatnya, dia menebak namamu.”

“Lalu kau jawab iya?”

Malah tawa kecil si Pak Tua yang terdengar. Selain itu, makin terdengar pula degup jantung dari dada Elang.

“Aku langsung tanya dia, ada urusan apa bertanya tentang anakku–”

“Anak angkat.”

“Cih. Kau akan mati kalau aku ungkap pada dia sebagai anak angkat.”

Elang menidurkan dagunya lemas pada ujung meja. “Dia seperti rubah. Bagaimana dia tahu uang aslinya ada di kantongku.”

“Hey, dia menebak namamu dengan mudah. Apalagi kantong celanamu.”

Sisa waktu sore hari mereka habiskan dengan energi Pak Tua, dan juga lesunya Elang yang sibuk meladeni ajakannya untuk bermain catur hingga larut malam.

Bukan hanya tentang gosip beberapa orang carian yang bisa menghasilkan uang, lotre toko sebelah yang berbuat curang, atau berita perseteruan yang sedang hangat, mereka juga menutup malam dengan nasi goreng hangat permintaan Elang pada Pak Tua.

Pula isi kepala Elang terus berputar di dalamnya wajah sumringah si Bawita yang jadi perbincangan utama mereka. Seingatnya, Bawita lebih suka memakai celana panjang. Seingatnya lagi, Bawita benci warna kuning. Bawita yang dia kenal juga tidak pernah melepas fedora yang senada dengannya.

Bawita tadi… apakah Elang baru mengenalnya?

Lagi pula, sudah berapa dekade yang Elang lalui tanpa Bawita?

“Ah, Pak Tua. Aku mau teh hangatmu.”

“Elang, sudah berapa banyak aku bilang bahwa aku punya nama. Lagi pula tehnya sudah tidak hangat. Minta lagi saja pada pelayan.”

“Oi, pelayan! Cakra minta teh daun mint hangat!” lantang suara Elang menggelegar sampai ke meja kasir.

“Tuhan… sepertinya lebih mudah mengasuh anak kucing.” Pak Tua menggeleng dengan seringai masam. Puluhan tahun bersama Elang tidaklah mudah, namun setidaknya adalah hal yang menyenangkan untuk mengisi masa tuanya.

--

--