Photo by ammar sabaa on Unsplash

Masa Bodoh Perasaan!

Sabrina Zahra

--

Saya kira saya terlalu acuh tak acuh terhadap perasaan.

Bukan perasaan orang lain, tapi apa yang dirasakan diri sendiri.

Cenderung berlalu dengan santai, saya sering lupa kejadian cuma-cuma. Kalau isinya tentang orang lain, saya bisa jamin perinciannya. Tapi kalau hanya tentang diri sendiri — dan pikiran sendiri, tidak banyak yang bisa saya ingat.

Di penghujung tahun 2023 kemarin, teman karib saya bertanya, “apa hal terberat yang lu lewatin di tahun ini?”

Saya terdiam cukup lama.

Rasanya saya menelusuri tiap tanggal, bulan, bahkan kejadian-kejadian penting, tapi tidak ada yang bisa dijadikan sebagai jawaban.

Gak ada yang berat. Saya ingin berucap begitu, tapi saya pikir lebih baik untuk kembali bertanya.

“Kalo lu apa?”

Dengan lugas teman saya menjawab. Ada berbagai kejadian mengharukan — sampai amarah, yang berkesan dalam dirinya sampai saat itu. Atau mungkin sampai beberapa tahun kemudian.

Kejadian yang dia anggap sebagai batu loncatan, pembelajaran, dan petunjuk. Walau harus dengan tenaga luar biasa dia lewati.

Mendengar dia bercerita panjang lebar, saya ikut merasakannya. Wah, memang tidak akan mudah kalau saya berada di posisinya. Ada juga beberapa bagian yang familier, tapi tidak begitu spesifik. Saya hanya merasa saya juga pernah melewati hal serupa … tapi kenapa tidak begitu membekas?

Lalu muncul pertanyaan di benak, “apa gue terlalu bodoamatan, ya?”

Saya pernah dengar bahwa bagian dari pendewasaan adalah ketika diri mulai bisa menerima dengan merasakan berbagai emosi. Bukan lagi mengelak atau menolak, melainkan meresap dan merasakan, sambil belajar bagaimana mengelolanya.

Lalu, di mana emosi itu saya letakkan?

Ah, berarti gue belum cukup dewasa.

… saya makin yakin, ternyata selama ini saya belum berani menerima gejolak berbagai emosi.

Sampai datang suatu momen, saat seseorang yang sudah saya anggap sebagai rumah harus pergi jauh.

Oh, datang juga waktunya. Perasaan yang ditunggu-tunggu-tapi-tidak-juga.

Saya baru terima getahnya. Saya baru bisa menyadari betapa beratnya ditinggal pergi.

Berhari-hari termenung, saat diam pun pikiran meliar. Hampa, seperti kehilangan sesuatu dalam diri, tapi hidup harus tetap berjalan. Ini kali pertamanya saya merasakan sesuatu sedalam ini.

Lalu saya makin yakin, bahwa perasaan mendalam itu datang dari peduli. Dahulu, kalau ditinggal teman pergi, rasanya biasa saja. Sedih, tapi setelah itu langsung berganti.

Kali ini berbeda, ditinggal oleh orang tersayang. Waktu saya banyak sekali diisi bersamanya. Makin dalam rasa sayang, makin dalam pula rasa hilang.

Makin kita menerima suatu perasaan, makin kita memaknai dan menghargai segala isinya.

Rasanya banyak gelisah, namun indah. Dapat memaknai rasa sedalam ini adalah anugerah. Terima kasih Tuhan, Engkau masih memberikan kita kesempatan untuk dapat merasakan bermacam-macam hal.

Saya berjanji akan lebih mengindahkan perasaan, tidak apatis terutama pada perasaan diri sendiri. Dan saya sudah berani menerima risikonya. Semoga saya dapat menikmati segala proses pendewasaan.

Semua akan jadi cerita, ambil banyak pengalaman di dalamnya.

Terima kasih, kawan!

22.49 EET | Kairo, 29 Februari 2024.

--

--