Photo by Stephanie Harvey on Unsplash

Lihatlah ke Luar, Sebentar Saja

Hari yang melelahkan, ya?

Sabrina Zahra
4 min readSep 25, 2023

--

Otakmu yang malang — seperti itu disebut orang, dan orang itu adalah dirimu — bekerja penuh dengan tidak segan menyapa gelap juga terang, mencicipi berbagai rasa yang sesaat kau membuka pintu, ingin kau rebahkan segalanya ke tong penampungan.

Kalau tembok bisa lancar berbicara, maka tidak akan ada kotak rahasia sebab matanya ada di mana-mana. “Di sudut utara dia menangis,” keesokannya, “pagi hari dia masih terlelap dengan mata sembap, meringkuk, menghadapku.”

Mereka simpan semua: cerita, harapan, bahkan amarah buta karena beberapa kejadian yang tidak diinginkan, atau agenda kemarin yang tidak berjalan sesuai rancangan.

Kamu mungkin heran, bagaimana aku bisa tahu sebanyak itu?

Spesifiknya, aku melihat lampu temaram yang selalu menyala sendirian di kenap dekat jendelamu. Setiap malam. Dia bersinar seperti sedang menyampaikan pesan samar — sama seperti cahayanya.

Walaupun benar suatu saat nanti mereka bisa bersaksi, tapi kamu selalu luang, karena mereka bukan manusia yang dikaruniai 5 alat indra. Mereka benda mati yang tidak akan mengkritisi luapan perasaan dari hati. Karena rasanya lebih nyaman, bukan, ketika emosimu tidak diamati orang? Ya sudah, anggap saja aku salah satu dari mereka.

Kalau memang iya, keputusanmu untuk lama tinggal di ruang persemayaman dari segala jenuh dan kecintaan tidak tepat sasaran adalah… baik. Memisahkan diri sejenak dari riuh manusia berkerumun adalah perlu. Menjeluakkan apa-apa yang diserap dari beragam watak orang: sangat perlu.

Namun, kalau terlalu lama… Atap kamar yang kamu anggap hanya menaungi dari panas dan hujan, bisa jadi mereka mendukungmu. Tiap sudut kamar yang punggungmu sangat nyaman dibuatnya, bisa jadi menunjang suasana jadi semakin muram. Matras yang kian lama kian nyaman, dia punya tujuan menarikmu lebih dalam. Dari bisingnya dunia — orang-orang ucap begitu, mereka buat udara hening menjadi wadah, untuk air matamu mengalir dengan mudah.

Kesendirianmu, makin mendesak ruang sesak di dalam dirimu yang sebenarnya bisa kamu hadapi dengan kuat. Otakmu, yang hanya diisi oleh dirimu, serta folder-folder rekaman ulang tiap insiden yang kamu sendiri pun selalu cari jawabannya: sesungguhnya amat sangat tidak diperlu.

Jika kamu terlalu larut dalam malam, aku khawatir kamu tidak dapat menikmati hangatnya siang.

Aku suruh kucing liar mengetuk jendelamu barusan. Dia ingin menunjukkanmu pemandangan. Kamu bisa lihat ke luar, sebentar saja. Di bangku taman seberang, ada dua orang berbincang sambil tertawa, keduanya tersenyum sangat lebar.

Perhatikan, sekeliling mereka tidak ada yang spesial. Hanya kursi yang mereka tunggangi, warnanya senada dengan baju yang mereka pakai. Sepertinya dua pasang mata itu sedang dalam agenda kencan(?) Tidak menghiraukan kucing abu — dia langsung kabur setelah melaksanakan perintah — yang sekarang sedang menggeliat di antara kaki mereka; meminta perhatian. Namun sepertinya mereka lebih tertarik dengan satu sama lain.

Di luar tampak sejuk, ya? Kita jalan-jalan, kata orang-orang untuk sekadar ‘cari angin’. Kita berkelana sampai malam, supaya sedu tidak sering mampir ke rumahmu. Kita bertamasya sekitar perumahan, supaya energimu betul terkuras dan, sepulang nanti matamu langsung terpejam. Bagaimana?

Kita jalan-jalan, normal saja. Amati sekeliling, segala detail pada daun yang mulai berganti warna, bentuk awan yang terkadang menyerupai makanan kesukaanmu, atau nyaring mesin kendaraan yang sesekali berlalu, sampai seorang nenek dengan senyum terpatri, menjinjing dua plastik bening dipenuhi sayur-mayur. Betapa hebat sebuah ciptaan, bukan? Damai, indah dan beragam, aman, kalau yang kita inginkan adalah itu.

Baik, aku tidak punya bakat untuk meramal apa gerangan yang menyambut kusut wajahmu. Namun sebagai yang sama-sama hidup di dunia — juga sama lelahnya, aku ingin memberi tahu sesuatu: kalau sesuatu mengganggumu, memojokkanmu ke dinding terpencil, coba lihatlah ke luar, sebentar saja. Hirup udara dalam-dalam, isakmu tidak sebanding dengan gratisnya udara segar.

Kalau kamu merasa jatuh, patah hati, coba lihat ke luar biarpun sebentar. Pergi ke rumah makan, lazimnya ada satu atau banyak pasang manusia yang sedang dalam termometer bahagianya. Kamu bisa serap energi dan senyuman dari mereka.

Begitu pun dengan pelita midi yang setia menyinari renung di ruanganmu. Persilakan padanya rehat, jangan buat dia sering jadi kuning yang amat benderang, pula seorang diri.

Dan kalimat tersebut kembali kepadamu. Kalau dirasa kelopak mata sudah tidak kuat menampung, coba longok ke luar jendela — meski sebentar. Kamu bisa panggil aku dari sana, kita bisa bicara tentang apa saja. Karena terkadang obat jenuh hanyalah dengan berbincang.

Di luar sana, banyak sekali hal-hal sederhana yang akan menepis semangat murungmu secara cuma-cuma. Kalau terjadi sesuatu (lagi), coba tengok ke luar jendela. Panggil aku dari sana, aku akan bersenang hati menolong lentera kecilmu, kita kuatkan bersama untuk ambil pantulan cemerlang dari indahnya bulan.

Ayo, cepat buyarkan kerikil dari tubuhmu, atmosfer di luar jauh lebih menyenangkan, sayang sekali untuk dilewatkan!

Catatan: kamu mungkin bertanya untuk apa aku mengatakan ini semua padamu. Jawabannya: ini untuk kebahagiaan diriku. Iya, aku turut bahagia jika dirimu tersenyum bahagia.

--

--