Photo by orbtal media on Unsplash

Kapal Berlabuh

Sabrina Zahra

--

“And ever has it been that love knows not its own depth until the hour of separation.”

Memang, bukankah kasih sayang itu tak menyadari kedalamannya sendiri, sampai datang saat berpisah?

Begitu kata Kahlil Gibran — seorang pujangga yang namanya ada di mana-mana — menanggapi pertanyaan tentang pertemuan yang kerap jadi nyaman sebagai tempat pelabuhan.

Banyak kapal berdatangan dengan tujuannya; mereka buat ramai suasana yang mengundang bahagia untuk mampir juga. Setelah cukup lama saling bicara, maksud pula hampir paripurna, pasti datang waktunya untuk kembali berlayar di laut belantara.

Ada yang menganggap berlabuhnya kapal adalah kutukan, namun tidak jarang pula yang sengaja jadi buta agar bisa berlama-lama.

Berputar begitu — silih berganti, nanti saatnya kapal-kapal itu yang jadi tumpuannya. Orang-orang datang dan pergi, tidak bisa dipungkiri.

Lalu, kalau datang ke dalam kepala sebaris kalimat: “datang hanya saat butuh,” itu tidak salah. Kau juga pasti seperti itu. Butuh bicara, butuh bantuan, butuh penuhkan butuh.

Nanti, saat tidak ada yang berlabuh sebab ogah diacuh lagi, jangan kau anggap dunia tidak adil kepadamu. Kau yang merasa tidak dibutuh sebab tidak membantu. Jangan merasa menyesal membalikkan todongan tangan dari orang-orang.

Lalu, begitu juga saat sudah dapat yang dimau. Jaga baik-baik. Cintai dia/itu. Tanamkan rasa takut kehilangan, tidak apa-apa. Karena memang semua akan datang dan pergi dalam waktu yang tidak bisa diterka.

Meminimalkan sesal dan kecewa, setidaknya. Walau tidak bisa ditebas sepenuhnya.

Maka indah kalau memanfaatkan segalanya dengan baik, apa lagi yang disebut sebagai “waktu”. Berikan kasih sayang yang terbaik untuk orang-orang yang berlabuh walau segelintir. Pasti mereka akan melakukan yang sama — bahkan lebih baik terhadapmu.

Tidak ada yang bisa diterawang di dunia ini. Abu-abu. Hati-hati. Jangan sampai sesal dan marah di kemudian hari.

--

--