Aku benci jatuh cinta — apalagi kalau itu kamu

Sabrina Zahra
2 min readMar 26, 2023

Sampai kalimat dalih hilang sudah pentingnya, dihajar letih yang mengiringi dada tiap kali kamu ajak aku bicara.

Semulanya kakiku tangguh berdiri, coba yakinkan diri agar bisa sesekali tatap kembali bulatan arang pada matamu. Malah lejar menyulut sendi untuk layu, tidak ada obat perenggang ataupun keberanian; supaya bisa setidaknya membalas keadaan.

Satu-dua yang aku benci soal jatuh (dan) cinta, keduanya berbuntut lelah yang tak habis berkunjung. Kala jatuh pasti jadi nyeri, cinta pula rajin berdaya lara. Maka jatuh cinta … perlu pandai dalam meresponsnya. Adalah aku … yang tidak miliki mampu jika itu semua tentang kamu.

Sudah, bahkan pernah menyerah aku dibuat oleh cakap besarmu, perihal bunga yang akan bermekaran di ladang — jikalau aku rajin bertamu. Ucapmu begitu, maka aku nobatkan sebagai masa paling pongah di mana aku pernah menumpu.

Bersudah pula jadinya, tumbang merana terkena sanding lidah, dia tajam memotong janji tentang bunga yang akan subur merekah. Siapa sudi jatuh lagi kalau buahnya begini?

Maka aku benci jatuh cinta — terutama pada kamu, jadi gering kepala tiap orang lain puja indah hiasan tamanmu. Sedikit egoisme mara dalam lirikku: kenapa tidak hanya aku yang bisa sanjung warna-warni itu?

Ambruk dua kali: pertama saat hampir ladangmu calang, kedua karena aku akan menyaksikannya merekah dengan halang.

Aku … benci jatuh cinta padamu, sebab tidak akan habis nalar bersahut membenakan segalanya, buat letih dan senang berbaris rapi, menyampirkan janji soal bunga bahari — namun tak abadi — hampir di setiap detiknya.

Dan kamu, sekiranya besok langkahmu nyaris menyilakanku untuk hadir lagi… anggap saja aku lupa soal halaman — anggap saja tidak pernah ada aku yang mampir saat kau berulah-alih dari bibir.

Oh, sepertinya mesti dicatat: bahwa aku tidak membencimu, aku hanya enggan jatuh cinta padamu (lagi).[]

--

--